1/27/13

Superhero & kebangsaan

(tulisan ini diposting pada tanggal 28 Juni 2006)

Sekarang ini lagi gencar-gencarnya promosi film Superman Returns. Sebelumnya ada Batman Returns, terus ada Spiderman, Zorro, Hulk, de-el-el lah... Hebatnya, semua film superhero itu menangguk untung besar dari hasil pemutaran maupun penjualan merchandise-nya.

Luar biasa mereka (baca: USA), ”brand” lama bisa diangkat lagi seolah-olah jadi sesuatu yang baru dan menjual. Apa nggak takut ya kalau ternyata film-film itu nggak ada yang nonton karena hanya mengangkat nama lama? Mungkin pasar yang demikian besar (sedunia) menyebabkan mereka sudah memperhitungkan hal itu. Jika di AS nggak laku, kan tinggal digeser ke negara lain, atau ke benua lain.

Kalo ngomongin superhero, Indonesia juga punya tak kalah banyak. Paling sering diinget orang mungkin adalah Gatotkaca. Selebihnya ada Wiro Sableng, si Pitung, si Buta dari Gua Hantu, Gundala, Godam bahkan mungkin ada superhero yang statusnya pahlawan bangsa (emangnya ada?).

Jika industri film kita yang katanya lagi booming mau membuat seperti itu, pasti seru. Mungkin kita akan terbiasa dengan judul-judul: Kembalinya Gundala, Godam Kembali Beraksi,atau bahkan Matinya Gatotkaca (karena memang di dalam ceritanya Gatotkaca tewas saat perang Baratayudha).

Jika penjualan merhandise-nya berhasil, anak-anak kita diharapkan tidak lagi mengidolakan superhero barat, mereka jadi bangga memakai lambang-lambang heroik asli Indonesia, sehingga otomatis jiwa kebanggaan bangsa sedikit terangkat.

Ngomongin tentang jiwa kebangsaan, mungkin dengan dibuatnya film-film heroik semacam itu, bahkan yang norak sekelas Rambo sekalipun, Amerika mempunyai misi terselubung untuk tetap mempertahankan rasa kebangsaan rakyatnya agar tetap bangga dengan negaranya. Di saat rasa kebangsaan yang sedang terpuruk seperti sekarang, mungkin Indonesia perlu meniru cara seperti ini juga ya?  [b\w]

1/8/13

BLUSUKAN sambil NGANGKANG

-->
Saat ini hampir semua orang tahu, terutama yang aktif di media sosial, apa itu yang dimaksud dengan kata ‘blusukan’, terutama sejak mantan gubernur DKI Sutiyoso berbicara di media mengingatkan gubernur DKI Joko Widodo agar sudah saatnya action dan mulai mengurangi aktivitas blusukan-nya. Kini memang ‘blusukan’ sudah menjelma menjadi istilah “keren” untuk menguraikan sebuah aktivitas pejabat yang mengunjungi masyarakat kelas bawah tanpa batasan formalitas. Aktivitasnya pun sepertinya juga ikut-ikutan ngetren, sampai-sampai banyak yang saling klaim siapa yang lebih dulu melakukan kebiasaan blusukan.

Kita tidak akan menemukan kata ‘blusukan’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karena memang merupakan bahasa Jawa. Apakah artinya memang sama seperti yang dilakukan Jokowi? Kata dasarnya adalah blusuk atau blesek yang artinya ‘masuk’. Jadi ‘blusukan’ bisa berarti masuk ke sana, masuk ke sini, atau ‘keluar-masuk’ lah. Sehingga kesimpulannya ‘blusukan’ itu merupakan aktivitas jalan-jalan keluar-masuk tempat-tempat yang tak banyak dikunjungi orang. Misalnya orang yang berpetualang keluar-masuk hutan semak belukar, atau pedagang keliling yang keluar-masuk pasar-pasar kecil, atau pendekar yang berkelana ke sana ke mari mencari ilmu ke tempat-tempat di mana para guru sakti bertapa.

Jika sekarang itu blusukan tidak lagi punya nilai sakral ya memang zamannya sudah berubah. Sama seperti ‘sidak’ (inspeksi mendadak) yang sudah tidak mendadak-mendadak banget sih, karena datangnya rame-rame dengan membawa awak media pula, apanya yang mendadak? Juga yang namanya ‘turba’ (turun ke bawah) dengan maksud ikut merasakan kehidupan di “bawah” tapi kenyataannya sampai di “bawah” si pejabat tetap bergaya priayi ketika berdialog dengan warga. Dari situ lah sebuah kata atau frasa menjadi berubah makna, disesuaikan dengan zamannya, kalo zamannya edan ya maknanya juga ikut gelo, hehe...

Nasib yang hampir sama dialami kata ‘ngangkang’ yang akhir-akhir ini juga jadi bahan gunjingan banyak pihak. Lagi-lagi kita tidak akan menemukannya di KBBI. Meskipun konon sama-sama berasal dari bahasa Jawa, tapi kata ‘ngangkang’ telah lebih dahulu eksis di luar daerah asalnya. Di kalangan anak-anak muda ibukota sudah sejak lama dikenal istilah ‘ngengkang’ yang merujuk kepada kaki yang terbuka lebar seperti orang sedang naik kuda. Begitu pula dengan ngangkang. Dalam boso jowo, kata ini berkembang jadi ‘mekangkang’, yaitu gaya kedua kaki berdiri yang terbuka seperti orang-orang yang sedang melakukan olah raga sumo.

Banyak kata-kata bahasa Jawa yang memiliki arti sangat spesifik, termasuk blusukan dan ngangkang ini. Beberapa daerah lain juga kaya akan kata bermakna spesifik yang dapat diambil untuk memperkaya bahasa Indonesia. Contohnya istilah ‘ngabuburit’ yang berasal dari lema Sunda, yang akhirnya bisa masuk ke dalam KBBI (lihat artikelnya di sini). Juga ada kata unduh (download) dan unggah (upload) yang diambil dari bahasa Jawa. Ide yang bagus juga sih kalau kita mau sedikit blusukan untuk mencari kata-kata dari daerah lain guna memperkaya bahasa kita, terutama untuk mengganti beberapa istilah asing. Tentunya blusukan tanpa bawa-bawa media lah, juga jangan blusukan sambil ngangkang, bisa bahaya, hehe... [b\w]

Sumber: bahasa, please!

1/6/13

Candi Singosari & peradaban bangsa

Saya baru tahu ada candi di Jawa yang bernama Candi Singosari ketika pertama kali berkunjung ke Malang Jawa Timur pada November 2012 lalu. Selama ini hanya nama Singosari saja yang terkenal sebagai sebuah kerajaan yang dibangun penuh intrik oleh seorang Ken Arok yang merebut Ken Dedes, istri dari Tunggul Ametung pemimpin wilayah Tumapel yang awalnya masih merupakan bagian dari kerajaan Kediri, sebelum akhirnya memisahkan diri dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singosari.


Lokasi tempat keberadaan Candi Singosari ditemukan di jalan Kertanegara Desa Candirenggo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang Jawa Timur itu diperkirakan dulunya merupakan letak kerajaan Singosari, karena di sekitar wilayah itu tak hanya ditemukan candi, tapi juga berbagai benda budaya seperti misalnya patung batu, dan lain-lain. Untuk mencapai ke sana, dari pusat kota Malang kira-kira 12 km ke arah utara yang menuju Surabaya. Sementara jika dari Surabaya sekitar 80 km ke arah selatan.


Memasuki lokasi candi tidak ada loket untuk membeli karcis tanda masuk, hanya saja para penjaga di tempat tersebut biasanya akan mengarahkan kita untuk mengisi buku tamu sebelum kita mendekati bangunan candi. Setelah itu mereka akan memberikan buku kecil yang sangat sederhana berupa keterangan dan tulisan tentang sejarah Candi Singosari. Dengan sopan para penjaga akan meminta biaya pengganti cetak yang besarnya tidak ditentukan alias seikhlas kita, karena dari dana tersebut nantinya akan dialokasikan juga untuk biaya operasional mereka merawat kawasan itu.


Secara keseluruhan Candi Singosari ini masih dalam keadaan terawat baik, begitu pula lingkungan di sekitar candi yang cukup bersih, nampak hijau dan asri. Hanya sayang terlihat beberapa arca patung atau pun batu-batu yang diletakkan berjajar di pinggir pagar lokasi tanpa ada bangunan yang menutupinya. Semoga saja arca dan batu-batu itu tidak dijamah tangan-tangan jahil yang berniat mengambil atau merusaknya. Menurut catatan sejarah, di kompleks candi ini awalnya ada 7 buah candi yang kesemuanya kini sudah runtuh meninggalkan puing-puing dan arca yang terpisah-pisah tersebut, dan hanya tersisa satu candi yang kini berdiri.


Bagi saya pribadi, dengan mengunjungi candi atau pun bangunan peninggalan bersejarah yang lain, akan semakin menumbuhkan rasa bangga dan cinta tanah air dan bangsa ini. Semua itu membuktikan bahwa peradaban bangsa Indonesia telah berkembang sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Jangan sampai di masa sekarang, bangsa ini malahan tidak lagi memiliki peradaban dan budaya yang dapat dibanggakan generasi 100 tahun ke depan.

Sumber: http://bloggerbekasi.com/2013/01/06/candi-singosari.html

BACA JUGA

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...