10/29/13

Apakah Jakarta Termasuk Kota Paling Jujur di Dunia?


13802149801253631939 

26 September 2013 | 12:13
 
Seperti yang ditulis oleh SHNews.co yang mengutip dari CNN, diberitakan bahwa baru-baru ini majalah Reader’s Digest melakukan eksperimen yang boleh dibilang unik. Untuk mengetahui sejauh mana kejujuran dari (warga) sebuah kota, mereka melakukannya dengan cara meletakkan atau menjatuhkan sebuah dompet di tempat-tempat umum, seperti misalnya di pinggir jalan, mall, taman, dan tempat umum lainnya.

Dipilih 16 kota internasional yang mewakili 4 benua. Masing-masing kota dijatuhkan 12 dompet yang berisi uang dengan jumlah setara 50 dollar Amerika, telepon genggam, beberapa kartu nama, dan foto keluarga. Dari 12 dompet tersebut ditunggu berapa dompet yang dikembalikan oleh penemunya. Hasilnya, 47 % dari dompet tersebut akhirnya dikembalikan.

Hasil menakjubkan yang dirilis oleh Reader’s Digest adalah bahwa ternyata kejujuran itu tidak berhubungan dengan jenis kelamin dan usia seseorang. Bermacam alasan dari mereka ketika mengembalikannya juga cukup menarik diketahui, ada yang karena memang hanya itu (mengembalikan dompet) yang bisa dilakukan, dan ada pula yang merasa bahwa dompet itu bukan miliknya.

Lalu bagaimana dengan Jakarta, apakah termasuk di antara 16 kota yang dipilih oleh Reader’s Digest? Sayangnya Jakarta tidak termasuk di antara kota dunia yang diuji-coba kejujurannya. Sepertinya Reader’s Digest sudah tahu keadaan di Jakarta, dompet yang masih nyaman di dalam kantong atau di dalam tas saja bisa hilang, apalagi yang (sengaja) dijatuhkan? Bisa-bisa dari 12 dompet yang jadi umpan, 13 dompet yang bakal hilang, hehehe…

Berikut daftar Kota Paling Jujur di Dunia tersebut yang disalin-rekat dari SHNews.co :
- Helsinki, Filandia mengembalikan 11 dari 12 dompet
- Mumbai, India mengembalikan 9 dari 12 dompet
- Budapest, Hungaria mengembalikan 8 dari 12 dompet
- New York, AS mengembalikan 8 dari 12 dompet
- Moskow, Rusia mengembalikan 7 dari 12 dompet
- Amsterdam, Belanda mengembalikan 7 dari 12 dompet
- Berlin, Jerman mengembalikan 6 dari 12 dompet
- Ljubljana, Slovenia mengembalikan 6 dari 12 dompet
- London, Inggris mengembalikan 5 dari 12 dompet
- Warsawa, Polandia mengembalikan 5 dari 12 dompet
- Bukares, Rumania mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Rio de Janeiro, Brasil mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Zurich, Swis mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Praha, Republik Ceko mengembalikan 3 dari 12 dompet
- Madrid, Spanyol mengembalikan 2 dari 12 dompet
- Lisbon, Portugal mengembalikan 1 dari 12 dompet

Sumber: kompasiana

Sadisnya Indomie, Sadisnya Tulisan Gugatannya

sesuatu fb grup

Mengikuti polemik “sesuatu” yang terjadi antara blogger Hazmi Srondol dan Indomie memang cukup membuat hati bergetar. Apa yang dilakukan Indomie memang sungguh “Afgan”, alias ‘sadis’ kalau kata anak2 jaman sekarang. Bagaimana bisa dibilang tidak sadis jika sebuah tulisan/cerita yang dipergunakan untuk kepentingan iklan komersial di berbagai media cetak hanya dihargai 3 dus Indomie?

Bagi saya pribadi, Indomie bukan sekadar produk mi instan yang terkadang dikangeni, tapi Indomie juga pernah menjadi bagian dari sejarah hidup saya. Sempat sekitar setengah tahun saya menjadi penulis naskah iklan senior (senior copywriter) yang menangani Indomie ketika saya bekerja di Hotline advertising, sebuah biro iklan milik seorang pakar branding Subiakto.

Indomie adalah salah satu klien besar yang pernah saya pegang, dan sekaligus juga salah satu klien menyebalkan yang pernah saya tangani, hehe… Tapi apa memang ada klien yg tidak menyebalkan? Betul juga sih, tapi untuk klien yang satu ini, kalau pake indikator pedasnya Ma’ Icih, tingkat menyebalkannya mungkin ada di angka sepuluh! Kenapa bisa begitu? Tak akan saya ceritakan karena bisa memperkeruh suasana, dan mungkin juga jadi terlalu teknis, karena akan berhubungan dengan istilah-istilah di kalangan periklanan.

Memori akan tingkat menyebalkan yang tinggi itulah yang membuat saya tanpa berpikir panjang ikut-ikutan menyebar tautan tulisan Hazmi Srondol di Kompasiana itu ke sebuah grup Facebook yang berisi orang-orang yang bekerja dan ada hubungannya dengan periklanan. “Indomie memang harus diberi pelajaran!” begitu suara hati saya pada malam hari itu sebelum saya mengunggah tautannya di dinding grup FB tersebut.

Esok harinya, saya mendapat telepon tak terduga dari seorang kawan lama, kawan ketika kita pernah bersama dalam satu tim menghadapi deadline dan tekanan klien. Ternyata kawan itu adalah salah satu orang biro iklan atau agency yang menangani Indomie, yang ternyata saya tidak menyadari bahwa di bagian bawah tulisan, emailnya ikut pula dicantumkan oleh mas Hazmi. Tentu saja dia agak kaget ketika tahu bahwa yang menyebar tautan di grup itu adalah saya. Hari itu juga posting tautan itu saya hide, meski belakangan ada orang lain yang memposting ulang.

Melanjutkan cerita telepon yang saya terima, kawan itu tentunya tak hanya sekadar menanyakan kabar, tapi juga bercerita tentang kasus ini yang kembali menyeret namanya. Dia bilang bahwa itu kasus sudah agak lama dan masih sedang dalam tahap negosiasi. Bahkan dirinya pun saat ini sudah tidak lagi menangani Indomie, meski produk mi instan tersebut masih menjadi salah satu klien di kantornya. Di saat itu saya dilanda kebingungan plus rasa bersalah. Sebagai penulis saya tidak terima jika sebuah karya tulisan “diperlakukan” seperti itu, sebagai teman saya juga nggak tega ketika dia bercerita bahwa kini namanya menjadi ikutan tercoreng negatif akibat dibukanya kasus ini ke publik dunia maya.

Oke, di titik ini saya akan coba menjadi orang yang tidak memihak. Memang keterlaluan jika perusahaan sebesar Indomie menghargai sebuah karya kreatif yang dibuat iklan komersil di berbagai media hanya dengan tiga dus mi instan. Sudah selayaknya kasus ini dijadikan bahan pembelajaran bagi mereka dengan dibuat sebuah tulisan. Sayangnya, tulisan tersebut mengapa harus disertai pencantuman email dengan nama-nama yang tidak disamarkan dan terang-terangan, yang menurut saya memang kurang elok dan agak sadis juga. Bagi nama-nama yang ada di email tersebut tentunya akan merasa seperti “ditelanjangi” di depan umum.

Ini adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi saya, bagi semua pihak. Pihak Indomie, pihak biro iklan/agency, dan juga tentu pihak penulisnya. Kasus ini tidak akan mencuat jika ketika itu pihak Indomie merespon dengan cepat, jika pihak agency terus menerus melakukan pendekatan personal terhadap penulisnya, dan jika sang penulis bisa sedikit bersabar dalam menanti kepastian untuk mendapat hak yang lebih layak. Ternyata, hidup ini memang tidak seindah rangkaian kata-kata yang kita tulis di blog… :)

Sumber: bloggerbekasi.com
(Jumat, 22 Februari 2013)

10/20/13

Untung Bukan SBY yang Menang Nobel Perdamaian


Hadiah Nobel Perdamaian pertama kali diraih oleh Henry Dunant sang pendiri Palang Merah dari Swiss. Sejak itu para penerima hadiah adalah selalu sosok yang memang bergaul dan berhubungan langsung dengan unsur-unsur perdamaian. Hingga akhirnya pada tanggal 13 Oktober 2006 lalu diumumkan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian adalah Muhammad Yunus dan Grameen Bank. Yunus adalah seorang profesor ahli ekonomi Universitas Chittagong - Bangladesh, yang lebih dikenal sebagai bankir kaum fakir miskin, ketimbang sebagai seorang juru damai.

Banyak yang bertanya mengapa justru yang dimenangkan oleh panitia Nobel adalah orang yang (sepertinya) tidak terlibat langsung dalam upaya perdamaian? Namun alasan yang diberikan oleh pihak panitia sangat bisa diterima, yaitu karena Muhammad Yunus dengan Grameen bank telah sukses memberi pinjaman kredit mikro tanpa agunan kepada ribuan orang miskin (sebagian besar kaum wanita) di Bangladesh sejak tahun 1974, hingga sedikit demi sedikit dapat mengikis kemiskinan. Kemiskinan adalah akar dari timbulnya sebuah peperangan. Jika tiada lagi kemiskinan maka tak ada lagi pertikaian, ini berarti akan membawa kedamaian.

Selain Yunus, salah satu tokoh internasional yang juga dicalonkan menjadi pemenang adalah Presiden SBY, yang berperan dalam perdamaian konflik Aceh. Untungnya bukan beliau yang menang! Kenapa?
Hadiah yang didapat pemenang Nobel Perdamaian adalah 1,36 juta US$, kira-kira setara Rp 12,5 miliar. Oleh Muhammad Yunus, hadiah itu bakal dialokasikan untuk mendanai berbagai proyek yang berhubungan dengan usaha yang telah dirintisnya, yaitu guna menghasilkan makanan bergizi murah, perawatan kesehatan, serta pengadaan air bersih, dan lain-lain yang kesemuanya tentu khusus bagi kaum miskin di Bangladesh yang merupakan salah satu negara termiskin di dunia.

Bayangkan apa yang dilakukan Presiden SBY jika mendapat hadiah itu? Bisa jadi setengahnya akan digunakan untuk mendanai “kerepotan” pengamanan dalam rangka menyambut kedatangan sang tamu agung George W (=war) Bush yang menelan biaya Rp 6 miliar! Mungkin juga buat tambahan dana kampanye untuk pemilu 2009? Atau jika memang digunakan untuk fakir miskin, apa dijamin dana itu bakal nyampe semuanya ke sasaran yang tepat? Ya untungnya nggak menang, jadinya kita ngga jadi berprasangka buruk, bukan? [b\w]

(20 November 2006 - benwal.multiply.com)

BACA JUGA

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...