Sejak
maraknya masalah korupsi, saya jadi mulai memperhatikan uang kembalian yang
sampai ke tangan kita jika belanja di mana saja. Meski ibunda sudah sering
mengeluhkan kecurangan itu ketika ia belanja di sebuah supermarket terkenal
berlogo kepala orang. Tapi waktu itu saya menanggapinya biasa saja.
Kepedulian saya dimulai ketika berbelanja di sebuah gerai donat Amerika yang sangat
terkenal dan ada di mana-mana itu. Ketika membayar dan menerima kembalian,
ternyata uangnya kurang Rp100. Saya memang tidak protes waktu itu, krn saya
pikir kejadian ini mungkin tidak sering terjadi.
Ternyata dugaan situ salah, ketika beli lagi di tempat yg sama (di
sebuah rumah sakit besar di Jakarta Barat) lagi-lagi saya menemukan kembalian yang
kurang Rp100. Bahkan saat itu si kasir yang merangkap pelayannya berusaha
mengacaukan hitungan dengan meminta uang kecil ke kita dengan tujuan untuk
ngepasin kembaliannya (atau untuk makin membuat kita kacau menghitungnya?).
“Bapak ada uang seribu?” begitu biasanya para kasir itu menanyakan ke kita jika
kita memberi uang bernilai agak besar sehingga mereka harus sesuai
mengembalikannya.
Ketiga kali saya kembali berbelanja di toko donat yang sama namun beda lokasi
gerai, dan ternyata lagi-lagi kurang Rp100, hanya bedanya si mbak yg melayani
bilang bahwa kembalinya kurang seratus. Karena ia jujur bilang begitu,
membuat saya menunda niatan untuk mempertanyakannya.
Berarti terhitung sudah 3 kali saya belanja di gerai donat tersebut dengan
kembalian kurang 100 perak. Sejak itu saya jadi makin memperhatikan setiap uang
kembalian yang sampai di tangan. Ternyata itu terjadi juga ketika saya makan
mie di sebuah resto franchise di sebuah mall di Blok-M. Uang kembalian kurang
100 perak lebih malah (tapi ga sampai 200). Ya, sebulan kemarin sudah 4 kali
setiap menerima uang kembalian selalu dikurangi Rp 100,- di tiga tempat yg
berbeda.
Puncaknya adalah ketika istri saya akhirnya bertransaksi di gerai donat di rumah sakit
di awal sy cerita di atas.
“Lho, mbak, memang kembalinya berapa?” tanya istri kepada si penjual donat.
“Maaf bu, kembalinya kurang 100,” jawab si pelayan merangkap kasir itu.
“Kalo gitu tolong ditulis deh di struknya kalo kembalinya kurang, karena saya
berkali-kali belanja di sini selalu kembalinya kurang seratus!” sahut istri ssambil menyodorkan struk agar si mbak menulis di situ.
“Oh, kalo gitu ini bu kembaliannya...” kata si kasir sambil tangannya mengambil
uang Rp 100 dari laci kasir dan lalu memberikannya kepada istri saya.
Nah lho...! Berarti sebenarnya dia punya kembalian seratus peraknya, tetapi
selalu saja dengan sengaja tidak diberikan kepada konsumen!
Seminggu setelah kejadian istri, saya akhirnya coba2 lagi beli di gerai donat yang
sama yang berlokasi di sebuah mall di Bekasi. Seperti yg sudah saya kira, kembalian
kurang 100 rupiah, dan si mbaknya sepertinya memang benar-benar tidak punya
uang 100, karena ketika saya memintanya untuk menulis di struk dilakukannya juga.
Sebenarnya bukan nilai uangnya sih, tapi jika hal kecil itu terus-menerus
dilakukan, bukankah itu akan menjadi cikal-bakal korupsi yang lebih besar? Coba
kita lihat diri sendiri sebelum berkoar-koar anti korupsi, apakah kita pernah
melakukannya tanpa kita sadari atau justru dilakukan dengan sistematis seperti
pegawai di gerai donat itu?
(9 Desember 2009 - benwal.multiply.com)
No comments:
Post a Comment