Ulasan buku Confessions of an Economic Hit Man
“Saya
baca baru setengah buku, nggak selesai karena sudah keburu dongkol...”
demikian kata paman saya ketika bercerita tentang buku karya John Perkins yang berjudul Confessions of an Economic Hit Man.
Rupanya ada perasaan yang sama saya alami; kesal, marah, dongkol,
dendam, dan geram setelah membacanya hingga tuntas. Inilah yang
membedakan saya dengan sang paman, beliau belum selesai membacanya
karena sudah lebih dahulu kesal.
Diawali dengan cerita masa kecil si penulis hingga dewasa yang akhirnya berhasil direkrut sebagai seorang Economic Hit Man
(EHM). Buku ini menceritakan bagaimana seorang “pembunuh ekonomi”
bekerja untuk sebuah perusahaan semacam konsultan finansial yang jadi
langganan para pemerintah di negara berekonomi lemah. Bagaimana John
Perkins menjadi seorang agen yang “mengelabui” pemerintah negara-negara
tersebut agar mau melakukan pinjaman untuk membiayai sebuah proyek yang
diada-adakan, yang ujung-ujungnya dikerjakan oleh pihak si pemberi
pinjaman, sehingga duit pinjaman balik lagi ke dia-dia juga, sementara
pinjaman dan bunganya tetap harus dibayar.
Celakanya
di antara beberapa negara-negara yang jadi korban, salah satunya
termasuk negeri kita tercinta ini, Republik Indonesia! John Perkins
mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1971 sebagai seorang konsultan
ekonomi, bergabung dengan beberapa orang Amerika lain yang sudah lebih
dahulu tinggal di Indonesia, dan keberadaan mereka sangat didukung oleh
pemerintah waktu itu karena mereka memakai dalih untuk menyelamatkan
Indonesia dari pengaruh komunis. Tim yang terdiri dari 11 orang itu
tinggal di Bandung dan bekerja untuk Perusahaan Listrik Negara. Mereka
bertugas melakukan pengembangan elektrifikasi Pulau Jawa, membuat sebuah
rencana induk sistem kelistrikan terpadu hingga jangka waktu dua puluh
lima tahun.
“Berbicara
tentang minyak. Kita semua tahu betapa tergantungnya negara kita pada
minyak. Indonesia dapat menjadi sekutu kita yang kuat dalam hubungan
ini.” begitulah kata Charlie Illingworth, manajer proyek dari misi
tersebut (halaman 29). Ternyata memang tujuan mereka tak hanya masalah
komunisme dan menegakkan demokrasi, tapi juga ekspansi kapitalisme dan
minyak bumi. Cukup gamblang dan detil pemaparan John Perkins tentang
keberadaannya di Indonesia. Contohnya adalah ketika ia bercerita tentang
Hotel Indonesia Intercontinental tempat di mana pertama kalinya tinggal
di Jakarta sebelum ke Bandung, juga di mana ia harus mengalahkan suara
hati di bawah tekanan ketika memalsukan kajian ekonomi untuk proyek
tersebut.
Selain
di Indonesia, John Perkins juga bekerja di negara lain. Di Panama
Perkins sempat berteman dengan pemimpin karismatik Omar Torrijos untuk
menggagalkan niatnya mengalihkan kepemilikan Terusan Panama dari AS
kepada Panama, hingga akhirnya presiden Panama tersebut meninggal karena
kecelakaan pesawat terbang yang terbakar yang mempunyai semua tanda
pembantaian CIA. Di Arab Saudi ia berusaha membujuk keluarga kerajaan
untuk menginvestasikan pendapatan minyak ke dalam surat berharga AS,
juga menjadi germo untuk Osama bin Laden. Di Iran berusaha untuk tetap
membuat pemerintah otoriter Shah Iran berkuasa sampai akhirnya
bersahabat dengan salah seorang anggota keluarga kerajaan. Di
negara-negara miskin Amerika Latin seperti Kolombia dan Ekuador, ia
berusaha mempengaruhi pemerintah agar tidak ragu untuk terus
mengekploitasi minyak di hutan-hutan Amazon dan memberi cap pemberontak
pada para petani yang menentangnya.
John
Perkins menulis pengalaman hidupnya ini dengan gaya novel. Ia juga
memasukkan sedikit unsur romantisme didalamnya, apalagi hidupnya sempat
mengalami kegagalan perkawinan karena pekerjaan yang membuat dirinya
selalu berada di luar negeri. Niatnya untuk membukukan kisah EHM ini
juga sempat mendapat ancaman hingga tawaran suap yang menggiurkan, namun
ia tetap bergeming dan terus menulis.
Perkins
merasa bahwa akibat “prediksi ekonominya” telah membuat banyak negara
manjadi terlibat hutang yang besar kepada lembaga keuangan dunia semacam
World Bank dan IMF, sehingga pemerintahan sebuah negara menjadi ahli
korupsi yang menghalalkan segala cara, sehingga rakyat kecil sengsara
bahkan mati terbunuh! Mungkin tulisannya ini merupakan salah satu cara
dia untuk menebus dosa dari apa yang telah dilakukannya.
Buku ini dapat menyadarkan kita akan adanya konspirasi besar yang mengarah kepada sebuah corporatocracy,
yaitu istilah yang menggambarkan sebuah kekuatan elite baru yang
berusaha menguasai planet ini (halaman 30). Kejadian demi kejadian
penting di dunia ini bisa jadi sudah direncanakan sebelumnya, atau
sebenarnya itu merupakan bagian dari sebuah rencana besar (grand design)
untuk menaklukan seluruh kekuatan ekonomi dunia. Jika melihat cara
kerja para Economic Hit Man ini yang sudah mulai beroperasi sejak
pertengahan abad 20, tentu logikanya saat ini mereka jadi makin hebat,
makin berpengalaman, sehingga makin sulit terdeteksi. Jika bangsa kita
selalu sibuk bertikai satu sama lain dan tidak bersatu menggalang
kekuatan, tentunya tak akan bisa lepas dari jeratan mereka. [b\w]
Sumber: Ikhlas Online (multiply sudah tutup)
No comments:
Post a Comment