Saat ini hampir semua orang tahu, terutama yang aktif di media sosial, apa
itu yang dimaksud dengan kata ‘blusukan’,
terutama sejak mantan gubernur DKI Sutiyoso berbicara di media mengingatkan
gubernur DKI Joko Widodo agar sudah saatnya action
dan mulai mengurangi aktivitas blusukan-nya.
Kini memang ‘blusukan’ sudah menjelma menjadi istilah “keren” untuk menguraikan sebuah aktivitas pejabat yang mengunjungi
masyarakat kelas bawah tanpa batasan formalitas. Aktivitasnya pun sepertinya
juga ikut-ikutan ngetren,
sampai-sampai banyak yang saling klaim siapa yang lebih dulu melakukan
kebiasaan blusukan.
Kita tidak akan menemukan kata ‘blusukan’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), karena memang merupakan bahasa Jawa. Apakah artinya memang sama seperti
yang dilakukan Jokowi? Kata dasarnya adalah blusuk
atau blesek yang artinya ‘masuk’.
Jadi ‘blusukan’ bisa berarti masuk ke sana, masuk ke sini, atau ‘keluar-masuk’
lah. Sehingga kesimpulannya ‘blusukan’ itu merupakan aktivitas jalan-jalan
keluar-masuk tempat-tempat yang tak banyak dikunjungi orang. Misalnya orang
yang berpetualang keluar-masuk hutan semak belukar, atau pedagang keliling yang
keluar-masuk pasar-pasar kecil, atau pendekar yang berkelana ke sana ke mari
mencari ilmu ke tempat-tempat di mana para guru sakti bertapa.
Jika sekarang itu blusukan tidak
lagi punya nilai sakral ya memang zamannya sudah berubah. Sama seperti ‘sidak’
(inspeksi mendadak) yang sudah tidak mendadak-mendadak banget sih, karena datangnya rame-rame
dengan membawa awak media pula, apanya yang mendadak? Juga yang namanya ‘turba’
(turun ke bawah) dengan maksud ikut merasakan kehidupan di “bawah” tapi
kenyataannya sampai di “bawah” si pejabat tetap bergaya priayi ketika berdialog
dengan warga. Dari situ lah sebuah kata atau frasa menjadi berubah makna,
disesuaikan dengan zamannya, kalo zamannya edan
ya maknanya juga ikut gelo, hehe...
Nasib yang hampir sama dialami kata ‘ngangkang’
yang akhir-akhir ini juga jadi bahan gunjingan banyak pihak. Lagi-lagi kita
tidak akan menemukannya di KBBI. Meskipun konon sama-sama berasal dari bahasa
Jawa, tapi kata ‘ngangkang’ telah lebih dahulu eksis di luar daerah asalnya. Di
kalangan anak-anak muda ibukota sudah sejak lama dikenal istilah ‘ngengkang’
yang merujuk kepada kaki yang terbuka lebar seperti orang sedang naik kuda.
Begitu pula dengan ngangkang. Dalam boso jowo, kata ini berkembang jadi
‘mekangkang’, yaitu gaya kedua kaki berdiri yang terbuka seperti orang-orang yang
sedang melakukan olah raga sumo.
Banyak kata-kata bahasa Jawa yang memiliki arti sangat spesifik, termasuk blusukan dan ngangkang ini. Beberapa daerah lain juga
kaya akan kata bermakna spesifik yang dapat diambil untuk memperkaya bahasa
Indonesia. Contohnya istilah ‘ngabuburit’ yang berasal dari lema Sunda, yang
akhirnya bisa masuk ke dalam KBBI (lihat artikelnya di sini). Juga ada kata
unduh (download) dan unggah (upload) yang diambil dari bahasa Jawa.
Ide yang bagus juga sih kalau kita mau sedikit blusukan untuk mencari kata-kata dari daerah lain guna memperkaya
bahasa kita, terutama untuk mengganti beberapa istilah asing. Tentunya blusukan tanpa bawa-bawa media lah, juga
jangan blusukan sambil ngangkang, bisa bahaya, hehe... [b\w]
Sumber: bahasa, please!
Sumber: bahasa, please!
No comments:
Post a Comment