10/29/13
Sadisnya Indomie, Sadisnya Tulisan Gugatannya
Mengikuti polemik “sesuatu” yang terjadi antara blogger Hazmi Srondol dan Indomie memang cukup membuat hati bergetar. Apa yang dilakukan Indomie memang sungguh “Afgan”, alias ‘sadis’ kalau kata anak2 jaman sekarang. Bagaimana bisa dibilang tidak sadis jika sebuah tulisan/cerita yang dipergunakan untuk kepentingan iklan komersial di berbagai media cetak hanya dihargai 3 dus Indomie?
Bagi saya pribadi, Indomie bukan sekadar produk mi instan yang terkadang dikangeni, tapi Indomie juga pernah menjadi bagian dari sejarah hidup saya. Sempat sekitar setengah tahun saya menjadi penulis naskah iklan senior (senior copywriter) yang menangani Indomie ketika saya bekerja di Hotline advertising, sebuah biro iklan milik seorang pakar branding Subiakto.
Indomie adalah salah satu klien besar yang pernah saya pegang, dan sekaligus juga salah satu klien menyebalkan yang pernah saya tangani, hehe… Tapi apa memang ada klien yg tidak menyebalkan? Betul juga sih, tapi untuk klien yang satu ini, kalau pake indikator pedasnya Ma’ Icih, tingkat menyebalkannya mungkin ada di angka sepuluh! Kenapa bisa begitu? Tak akan saya ceritakan karena bisa memperkeruh suasana, dan mungkin juga jadi terlalu teknis, karena akan berhubungan dengan istilah-istilah di kalangan periklanan.
Memori akan tingkat menyebalkan yang tinggi itulah yang membuat saya tanpa berpikir panjang ikut-ikutan menyebar tautan tulisan Hazmi Srondol di Kompasiana itu ke sebuah grup Facebook yang berisi orang-orang yang bekerja dan ada hubungannya dengan periklanan. “Indomie memang harus diberi pelajaran!” begitu suara hati saya pada malam hari itu sebelum saya mengunggah tautannya di dinding grup FB tersebut.
Esok harinya, saya mendapat telepon tak terduga dari seorang kawan lama, kawan ketika kita pernah bersama dalam satu tim menghadapi deadline dan tekanan klien. Ternyata kawan itu adalah salah satu orang biro iklan atau agency yang menangani Indomie, yang ternyata saya tidak menyadari bahwa di bagian bawah tulisan, emailnya ikut pula dicantumkan oleh mas Hazmi. Tentu saja dia agak kaget ketika tahu bahwa yang menyebar tautan di grup itu adalah saya. Hari itu juga posting tautan itu saya hide, meski belakangan ada orang lain yang memposting ulang.
Melanjutkan cerita telepon yang saya terima, kawan itu tentunya tak hanya sekadar menanyakan kabar, tapi juga bercerita tentang kasus ini yang kembali menyeret namanya. Dia bilang bahwa itu kasus sudah agak lama dan masih sedang dalam tahap negosiasi. Bahkan dirinya pun saat ini sudah tidak lagi menangani Indomie, meski produk mi instan tersebut masih menjadi salah satu klien di kantornya. Di saat itu saya dilanda kebingungan plus rasa bersalah. Sebagai penulis saya tidak terima jika sebuah karya tulisan “diperlakukan” seperti itu, sebagai teman saya juga nggak tega ketika dia bercerita bahwa kini namanya menjadi ikutan tercoreng negatif akibat dibukanya kasus ini ke publik dunia maya.
Oke, di titik ini saya akan coba menjadi orang yang tidak memihak. Memang keterlaluan jika perusahaan sebesar Indomie menghargai sebuah karya kreatif yang dibuat iklan komersil di berbagai media hanya dengan tiga dus mi instan. Sudah selayaknya kasus ini dijadikan bahan pembelajaran bagi mereka dengan dibuat sebuah tulisan. Sayangnya, tulisan tersebut mengapa harus disertai pencantuman email dengan nama-nama yang tidak disamarkan dan terang-terangan, yang menurut saya memang kurang elok dan agak sadis juga. Bagi nama-nama yang ada di email tersebut tentunya akan merasa seperti “ditelanjangi” di depan umum.
Ini adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi saya, bagi semua pihak. Pihak Indomie, pihak biro iklan/agency, dan juga tentu pihak penulisnya. Kasus ini tidak akan mencuat jika ketika itu pihak Indomie merespon dengan cepat, jika pihak agency terus menerus melakukan pendekatan personal terhadap penulisnya, dan jika sang penulis bisa sedikit bersabar dalam menanti kepastian untuk mendapat hak yang lebih layak. Ternyata, hidup ini memang tidak seindah rangkaian kata-kata yang kita tulis di blog…
Sumber: bloggerbekasi.com
(Jumat, 22 Februari 2013)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment