Senang dan bangga sekaligus sedih ketika membaca tulisan
di harian Kompas, Sabtu 29 April 2006, halaman 16. Lagi-lagi seorang anak
bangsa berprestasi di ajang kompetisi ilmiah dunia, setelah sebelumnya kita
menerima berita tentang kemenangan siswa SMA dan bahkan juga siswa SMP
Indonesia yang berhasil meraih dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu
dalam Olimpiade Fisika Asia ke-7 di Almaty,
Kazakhtan, 28 April 2006, hingga berhasil menempatkan posisi Indonesia di peringkat kedua setelah
China.
Irwandi Jaswir (36), seorang peneliti muda kelahiran Medan yang besar
di Bukittinggi ini berhasil mendapatkan award tertinggi kelas dunia
untuk temuan inovatifnya yang berjudul Rapid Method for Detection of
Non-Halal Substances in Food, dan juga mendapat medali perak untuk
temuannya yang lain yaitu Novel Rapid Analytical Techniques for Fats and
Oils Industry.
Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1993 ini berhasil menemukan metode bagaimana dengan cepat dapat mengetahui kandungan lemak hewani pada berbagai makanan dengan aman (karena tanpa bahan kimia), dan dengan biaya murah. Temuan itulah yang membawanya memenangkan anugerah tertinggi pada lomba rekacipta dan inovasi tingkat dunia The 34th International Exhibition of Inventions, New Techniques and Products of Geneva, di Jenewa-Swiss, pada 5-9 April 2006 lalu.
Namun sayangnya, bapak dua anak yang beristrikan seorang dokter gigi ini membawa nama negeri jiran Malaysia dalam lomba ilmiah dunia tersebut. Karena Irwandi ternyata adalah seorang dosen di International Islamic University Malaysia, sehingga Kementrian Sains Teknologi dan Inovasi Malaysia dengan mudahnya mengucurkan dana penelitian yang memang di negara jiran itu tidak sulit didapat dari pemerintahnya yang memang menaruh perhatian besar terhadap hal-hal seperti itu.
Masalah kucuran dana untuk penelitian inilah yang tampaknya membuat Irwandi, yang juga mendapatkan PhD-nya berkat twinning programme setelah ia menyelesaikan S2 di Universitas Pertanian Malaysia, tetap bertahan menjadi dosen di sana. Bahkan ia pun kini sudah diincar oleh Japan Society for Promotion of Science untuk melakukan penelitian dengan dana penelitian tak terbatas!
Bagaimana jika dia waktu itu buru-buru kembali ke Indonesia dan menunggu pencairan dana penelitian yang tak kunjung turun, karena melewati sistem birokrasi yang ribet dan korup? Mungkin Irwandi hanya bisa jadi seorang dosen yang bakalan mati penasaran, karena otak encernya tidak dihargai oleh negaranya sendiri untuk membuat penelitian yang menghasilkan penemuan brilian yang dapat berguna bagi orang banyak.
Sudah selayaknya warga negara seperti Irwandi dan adik-adik pemenang olimpiade ilmiah itulah yang pantas disebut aset bangsa. Bukannya orang yang menebar eksploitasi tubuh wanita dengan berbagai goyang ngebor, ngecor, atau apa pun, yang saat ini justru dianggap sebagai aset bangsa. Tampaknya bukan hanya pemerintah yang tak peduli akan potensi kaum Irwandi, tapi juga masyarakat kita yang lebih senang mendukung pertikaian politik, dan juga hiburan seronok yang jelas-jelas makin merendahkan martabat tak hanya wanita, tapi juga martabat bangsa yang sedang terpuruk ini. Apa kita akan terus membiarkan Irwandi-Irwandi lain yang kepintarannya justru dimanfaatkan negeri jiran? (b\w)
*tulisan ini diposting pd tanggal 2 Mei 2006 di benwal.multiply.com
No comments:
Post a Comment