3/8/10

My Name is Khan: perspektif segar tentang cinta & perbedaan


Sudah kira-kira setahun lalu Shah Rukh Khan rajin berpromosi untuk film My Name is Khan. Menurutnya sebagian ide cerita film ini juga berdasarkan pengalamannya sebagai penyandang nama Khan yang selalu mendapat diskriminasi karena latar belakang agamanya. Di India, Khan memang sebuah nama keluarga Muslim. Sejak dahulu, India selalu digoyang isu rasial, terutama antara pemeluk agama terbesar di sana yaitu Hindu dan Islam yang merupakan terbesar kedua.

Diskriminasi terhadap orang-orang yang punya nama berbau Islam seperti Khan semakin menjadi-jadi sejak peristiwa WTC 9/11. Itulah sebenarnya topik yang akan diangkat oleh film ini. Hebatnya, film ini mengemas pesan tersebut dengan cara yang indah, sangat menyentuh, dan juga universal, sehingga layak ditonton oleh siapa saja, karena memang film ini sarat dengan pesan moral baik yg tersurat maupun tersirat. Kelihatan sekali jika para pembuat dan juga tentu para pemainnya adalah manusia berpikiran terbuka dan positif.

Film yang diawali dengan adegan perlakuan petugas Bandara Internasional San Francisco yang memeriksa Rizwan Khan (Shah Rukh Khan) sampai lama hingga ia ditinggal oleh pesawat yg seharusnya membawa dirinya ke Washington DC untuk bertemu Presiden Amerika Serikat. Lucunya, kejadian seperti itu ternyata benar-benar dialami oleh Shah Rukh Khan hingga dua kali! Pertama adalah di Bandara Newark, New Jersey, AS pada bulan Agustus 2009. Pemeriksaan terhadap dirinya memakan waktu 2 jam hanya karena petugas salah mengidentifikasi namanya, yang ternyata hampir sama dengan nama dalam daftar teroris. Hal tersebut terjadi lagi pada bulan September 2009 di Bandara Nashville, Tennesse. Perlu waktu beberapa jam ia diperiksa bahkan oleh FBI, lagi-lagi karena namanya yang mirip-mirip dengan ‘teroris’ yang mereka cari.

Dari awal penonton sudah diberi tahu perihal ‘keistimewaan’ Rizwan yang ternyata adalah seorang penderita autis (asperger syndrome) ketika sang petugas bandara SF menemukan kartu tanda pengenal autisnya. Cerita akhirnya flashback ke belakang ketika Rizwan kecil yang hidup bersama ibu dan seorang adik laki-lakinya. Meski tingkah lakunya tidak seperti anak-anak lain, namun Rizu, panggilan sang ibu terhadapnya, mempunyai kecerdasan luar biasa. Ia sangat pintar mereparasi mesin atau barang apapun. Singkat cerita, Zakir Khan, sang adik yang ternyata juga pintar, berhasil dapat beasiswa untuk sekolah di AS. Zakir berjanji kepada sang ibu untuk membawanya ke Amerika bersama sang kakak, namun tak kesampaian karena ibunda keburu meninggal. Jadilah sang kakak yang tetap pergi ke Amerika untuk menemui adiknya. Dari sinilah cerita dimulai.

Rizwan akhirnya mengawini seorang India pemilik salon kecantikan di San Francisco bernama Mandira (Kajol) yang beragama Hindu dan punya satu anak laki-laki bernama Sameer. Kehidupan bahagia mereka berubah drastis setelah peristiwa WTC 9/11, di mana terjadi tindak kekerasan terhadap kaum Muslim, bahkan juga terhadap kaum Sikh yang disangka orang Afgan. Kebencian juga yang membuat Sameer akhirnya harus tewas karena dipukuli oleh para seniornya di sekolah, karena ia menyandang nama keluarga ayah tirinya. Itulah yang menyebabkan sang ibu menjadi berang, menyalahkan perkawinannya dengan seorang Khan, hingga akhirnya berteriak kepada sang suami: “Kenapa engkau tidak pergi menemui presiden dan bilang, My Name is Khan, and I’m not a terorist!”.

Mulai dari sini, alur cerita jadi agak sedikit lebay. Apalagi ketika momen Rizwan menjadi terkenal hingga ada di berbagai acara berita di tv, atau ketika ia berhasil membuat komunitas sebangsanya turun langsung membantu korban badai Katrina di tengah banjir setinggi dada. Atau saat terakhir di mana ia akhirnya diberi kesempatan oleh presiden terpilih AS Barrack Obama untuk menemuinya di sela-sela pidato di sebuah lapangan terbuka (apalagi Obama terlihat agak gemuk di sini, hehehe). “Sepertinya Anda lebih banyak tampil di televisi dibanding saya,” seru Obama membuka pembicaraan dengan Rizwan yang maju ke podium didampingi Mandira. Lebay tenan!

Dengan durasi 161 menit, film India ini bebas dari tari-tarian India yang kolosal itu. Dan di balik segala kekurangan dan ke-lebay-annya, My Name is Khan berhasil memberi perspektif segar tentang cinta dan perbedaan, hubungan lintas budaya, etnis, ras, dan agama. Juga membuka mata kita akan keberadaan penderita autis di sekitar kita. Bahwa di dunia ini manusia atau insan sesungguhnya hanya dibedakan menjadi dua, yaitu insan baik yang selalu berbuat baik, dan insan jahat yang selalu berbuat jahat, seperti nasihat yang selalu diutarakan oleh sang ibu kepada Rizwan. Tentunya Karan Johar, sang sutradara, juga berharap film garapannya ini akan membuat jumlah insan baik jadi semakin banyak. Semoga... [b\w]

No comments:

Post a Comment

BACA JUGA

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...