11/17/13

Banyak Jalan Menuju (Biskuit) Roma

Indonesia yang berpenduduk 200 juta orang lebih sudah pasti merupakan pasar yang besar bagi berbagai macam produk, termasuk tentunya produk makanan yang semakin hari semakin banyak macamnya di negeri ini. Persaingan semakin ketat antar berbagai produk dan merek, masing-masing berlomba untuk memberikan yang terbaik untuk mendapatkan banyak konsumen.

Salah satu produsen makanan ringan atau biskuit yang terbesar di Indonesia adalah biskuit Roma. Sebagai bagian dari grup Mayora, Roma kini menjadi merek biskuit terbesar di Indonesia berdasarkan data lembaga survey Nielsen yang dirilis pada bulan September 2013. Tentunya ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi produk Roma yang merupakan produk asli dalam negeri.

Menyadari hal itu, pihak Mayora kini telah melakukan perubahan logo dengan tema Serving Goodness and Happiness” yang sekaligus juga menjadi slogan (tagline) baru dari merek Roma, yang memiliki makna sebuah perwujudan dari produk Roma akan kulitas terbaik yang dihasilkan sehingga dapat memberikan kebahagiaan bagi keluarga Indonesia konsumen setianya.

Biskuit Roma yang dihasilkan dari bahan gandum utuh ini yang jelas semakin banyak variasi produknya, seiring juga dengan makin besar pasar yang hendak dicapainya. Memang dari kenyataan di lapangan, penyuka biskuit ini sangat beragam, tua, muda, besar, kecil, mulai dari orang tua, anak-anak, kakek, nenek, hingga bayi.

Jika ada pepatah ‘banyak jalan menuju Roma’, maka dengan banyaknya varian Roma ini bisa dibilang kita tidak akan kesulitan jika menginginkan produk makanan ringan yang baik. Maka dari itu pepatah tersebut bisa menjadi ‘banyak jalan menuju biskuit Roma’ karena memang saat ini “banyak sekali jalan” untuk bisa membeli produk makanan ringan bermutu tinggi, yaitu (biskuit) Roma. [b\w]

Perbedaan logo yang diterapkan di salah satu produk biskuit Roma yang paling digemari.










Penggemar biskuit Roma dari berbagai kalangan datang di acara launching logo baru

10/29/13

Apakah Jakarta Termasuk Kota Paling Jujur di Dunia?


13802149801253631939 

26 September 2013 | 12:13
 
Seperti yang ditulis oleh SHNews.co yang mengutip dari CNN, diberitakan bahwa baru-baru ini majalah Reader’s Digest melakukan eksperimen yang boleh dibilang unik. Untuk mengetahui sejauh mana kejujuran dari (warga) sebuah kota, mereka melakukannya dengan cara meletakkan atau menjatuhkan sebuah dompet di tempat-tempat umum, seperti misalnya di pinggir jalan, mall, taman, dan tempat umum lainnya.

Dipilih 16 kota internasional yang mewakili 4 benua. Masing-masing kota dijatuhkan 12 dompet yang berisi uang dengan jumlah setara 50 dollar Amerika, telepon genggam, beberapa kartu nama, dan foto keluarga. Dari 12 dompet tersebut ditunggu berapa dompet yang dikembalikan oleh penemunya. Hasilnya, 47 % dari dompet tersebut akhirnya dikembalikan.

Hasil menakjubkan yang dirilis oleh Reader’s Digest adalah bahwa ternyata kejujuran itu tidak berhubungan dengan jenis kelamin dan usia seseorang. Bermacam alasan dari mereka ketika mengembalikannya juga cukup menarik diketahui, ada yang karena memang hanya itu (mengembalikan dompet) yang bisa dilakukan, dan ada pula yang merasa bahwa dompet itu bukan miliknya.

Lalu bagaimana dengan Jakarta, apakah termasuk di antara 16 kota yang dipilih oleh Reader’s Digest? Sayangnya Jakarta tidak termasuk di antara kota dunia yang diuji-coba kejujurannya. Sepertinya Reader’s Digest sudah tahu keadaan di Jakarta, dompet yang masih nyaman di dalam kantong atau di dalam tas saja bisa hilang, apalagi yang (sengaja) dijatuhkan? Bisa-bisa dari 12 dompet yang jadi umpan, 13 dompet yang bakal hilang, hehehe…

Berikut daftar Kota Paling Jujur di Dunia tersebut yang disalin-rekat dari SHNews.co :
- Helsinki, Filandia mengembalikan 11 dari 12 dompet
- Mumbai, India mengembalikan 9 dari 12 dompet
- Budapest, Hungaria mengembalikan 8 dari 12 dompet
- New York, AS mengembalikan 8 dari 12 dompet
- Moskow, Rusia mengembalikan 7 dari 12 dompet
- Amsterdam, Belanda mengembalikan 7 dari 12 dompet
- Berlin, Jerman mengembalikan 6 dari 12 dompet
- Ljubljana, Slovenia mengembalikan 6 dari 12 dompet
- London, Inggris mengembalikan 5 dari 12 dompet
- Warsawa, Polandia mengembalikan 5 dari 12 dompet
- Bukares, Rumania mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Rio de Janeiro, Brasil mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Zurich, Swis mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Praha, Republik Ceko mengembalikan 3 dari 12 dompet
- Madrid, Spanyol mengembalikan 2 dari 12 dompet
- Lisbon, Portugal mengembalikan 1 dari 12 dompet

Sumber: kompasiana

Sadisnya Indomie, Sadisnya Tulisan Gugatannya

sesuatu fb grup

Mengikuti polemik “sesuatu” yang terjadi antara blogger Hazmi Srondol dan Indomie memang cukup membuat hati bergetar. Apa yang dilakukan Indomie memang sungguh “Afgan”, alias ‘sadis’ kalau kata anak2 jaman sekarang. Bagaimana bisa dibilang tidak sadis jika sebuah tulisan/cerita yang dipergunakan untuk kepentingan iklan komersial di berbagai media cetak hanya dihargai 3 dus Indomie?

Bagi saya pribadi, Indomie bukan sekadar produk mi instan yang terkadang dikangeni, tapi Indomie juga pernah menjadi bagian dari sejarah hidup saya. Sempat sekitar setengah tahun saya menjadi penulis naskah iklan senior (senior copywriter) yang menangani Indomie ketika saya bekerja di Hotline advertising, sebuah biro iklan milik seorang pakar branding Subiakto.

Indomie adalah salah satu klien besar yang pernah saya pegang, dan sekaligus juga salah satu klien menyebalkan yang pernah saya tangani, hehe… Tapi apa memang ada klien yg tidak menyebalkan? Betul juga sih, tapi untuk klien yang satu ini, kalau pake indikator pedasnya Ma’ Icih, tingkat menyebalkannya mungkin ada di angka sepuluh! Kenapa bisa begitu? Tak akan saya ceritakan karena bisa memperkeruh suasana, dan mungkin juga jadi terlalu teknis, karena akan berhubungan dengan istilah-istilah di kalangan periklanan.

Memori akan tingkat menyebalkan yang tinggi itulah yang membuat saya tanpa berpikir panjang ikut-ikutan menyebar tautan tulisan Hazmi Srondol di Kompasiana itu ke sebuah grup Facebook yang berisi orang-orang yang bekerja dan ada hubungannya dengan periklanan. “Indomie memang harus diberi pelajaran!” begitu suara hati saya pada malam hari itu sebelum saya mengunggah tautannya di dinding grup FB tersebut.

Esok harinya, saya mendapat telepon tak terduga dari seorang kawan lama, kawan ketika kita pernah bersama dalam satu tim menghadapi deadline dan tekanan klien. Ternyata kawan itu adalah salah satu orang biro iklan atau agency yang menangani Indomie, yang ternyata saya tidak menyadari bahwa di bagian bawah tulisan, emailnya ikut pula dicantumkan oleh mas Hazmi. Tentu saja dia agak kaget ketika tahu bahwa yang menyebar tautan di grup itu adalah saya. Hari itu juga posting tautan itu saya hide, meski belakangan ada orang lain yang memposting ulang.

Melanjutkan cerita telepon yang saya terima, kawan itu tentunya tak hanya sekadar menanyakan kabar, tapi juga bercerita tentang kasus ini yang kembali menyeret namanya. Dia bilang bahwa itu kasus sudah agak lama dan masih sedang dalam tahap negosiasi. Bahkan dirinya pun saat ini sudah tidak lagi menangani Indomie, meski produk mi instan tersebut masih menjadi salah satu klien di kantornya. Di saat itu saya dilanda kebingungan plus rasa bersalah. Sebagai penulis saya tidak terima jika sebuah karya tulisan “diperlakukan” seperti itu, sebagai teman saya juga nggak tega ketika dia bercerita bahwa kini namanya menjadi ikutan tercoreng negatif akibat dibukanya kasus ini ke publik dunia maya.

Oke, di titik ini saya akan coba menjadi orang yang tidak memihak. Memang keterlaluan jika perusahaan sebesar Indomie menghargai sebuah karya kreatif yang dibuat iklan komersil di berbagai media hanya dengan tiga dus mi instan. Sudah selayaknya kasus ini dijadikan bahan pembelajaran bagi mereka dengan dibuat sebuah tulisan. Sayangnya, tulisan tersebut mengapa harus disertai pencantuman email dengan nama-nama yang tidak disamarkan dan terang-terangan, yang menurut saya memang kurang elok dan agak sadis juga. Bagi nama-nama yang ada di email tersebut tentunya akan merasa seperti “ditelanjangi” di depan umum.

Ini adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi saya, bagi semua pihak. Pihak Indomie, pihak biro iklan/agency, dan juga tentu pihak penulisnya. Kasus ini tidak akan mencuat jika ketika itu pihak Indomie merespon dengan cepat, jika pihak agency terus menerus melakukan pendekatan personal terhadap penulisnya, dan jika sang penulis bisa sedikit bersabar dalam menanti kepastian untuk mendapat hak yang lebih layak. Ternyata, hidup ini memang tidak seindah rangkaian kata-kata yang kita tulis di blog… :)

Sumber: bloggerbekasi.com
(Jumat, 22 Februari 2013)

10/20/13

Untung Bukan SBY yang Menang Nobel Perdamaian


Hadiah Nobel Perdamaian pertama kali diraih oleh Henry Dunant sang pendiri Palang Merah dari Swiss. Sejak itu para penerima hadiah adalah selalu sosok yang memang bergaul dan berhubungan langsung dengan unsur-unsur perdamaian. Hingga akhirnya pada tanggal 13 Oktober 2006 lalu diumumkan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian adalah Muhammad Yunus dan Grameen Bank. Yunus adalah seorang profesor ahli ekonomi Universitas Chittagong - Bangladesh, yang lebih dikenal sebagai bankir kaum fakir miskin, ketimbang sebagai seorang juru damai.

Banyak yang bertanya mengapa justru yang dimenangkan oleh panitia Nobel adalah orang yang (sepertinya) tidak terlibat langsung dalam upaya perdamaian? Namun alasan yang diberikan oleh pihak panitia sangat bisa diterima, yaitu karena Muhammad Yunus dengan Grameen bank telah sukses memberi pinjaman kredit mikro tanpa agunan kepada ribuan orang miskin (sebagian besar kaum wanita) di Bangladesh sejak tahun 1974, hingga sedikit demi sedikit dapat mengikis kemiskinan. Kemiskinan adalah akar dari timbulnya sebuah peperangan. Jika tiada lagi kemiskinan maka tak ada lagi pertikaian, ini berarti akan membawa kedamaian.

Selain Yunus, salah satu tokoh internasional yang juga dicalonkan menjadi pemenang adalah Presiden SBY, yang berperan dalam perdamaian konflik Aceh. Untungnya bukan beliau yang menang! Kenapa?
Hadiah yang didapat pemenang Nobel Perdamaian adalah 1,36 juta US$, kira-kira setara Rp 12,5 miliar. Oleh Muhammad Yunus, hadiah itu bakal dialokasikan untuk mendanai berbagai proyek yang berhubungan dengan usaha yang telah dirintisnya, yaitu guna menghasilkan makanan bergizi murah, perawatan kesehatan, serta pengadaan air bersih, dan lain-lain yang kesemuanya tentu khusus bagi kaum miskin di Bangladesh yang merupakan salah satu negara termiskin di dunia.

Bayangkan apa yang dilakukan Presiden SBY jika mendapat hadiah itu? Bisa jadi setengahnya akan digunakan untuk mendanai “kerepotan” pengamanan dalam rangka menyambut kedatangan sang tamu agung George W (=war) Bush yang menelan biaya Rp 6 miliar! Mungkin juga buat tambahan dana kampanye untuk pemilu 2009? Atau jika memang digunakan untuk fakir miskin, apa dijamin dana itu bakal nyampe semuanya ke sasaran yang tepat? Ya untungnya nggak menang, jadinya kita ngga jadi berprasangka buruk, bukan? [b\w]

(20 November 2006 - benwal.multiply.com)

9/27/13

Pascanonton Produk Iklan Pascabayar

“Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalanin.” Begitulah sebaris kalimat yang diucapkan oleh seorang anak kecil di sebuah iklan operator GSM selular. Iklan yang cukup menarik, yang akhir-akhir ini sedang rajin beredar di hampir seluruh stasiun televisi tanah air.

Namun ada kalimat penutup iklan tersebut yang agak menggelitik pendengaran. Kalimat yang juga sekaligus menjadi slogan dari produk yang diiklankan, “Indi+, layanan prabayar, kenyamanan paskabayar.” Begitulah suara anak kecil mengakhiri iklan yang dibuat dalam beberapa versi tersebut.

Sayangnya, ada salah pengucapan di situ. Pengucapan paska dalam frasa pascabayar sudah jelas tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia. Pengucapan dalam bahasa Indonesia sejak dahulu kita tahu bahwa huruf ‘c’ diucapkan ‘ce’ bukan jadi ‘ka’ seperti bahasa Inggris.

Sampe bonyok kita tidak akan dapat menemukan kata paska di KBBI Daring. Jika kita memaksa untuk mencarinya, akan keluar kata Paskah. Kita akan menemukan kata ‘pasca-’ (bermakna sesudah) sebagai sebuah bentuk terikat tidak bisa berdiri sendiri sebagai sebuah kata, sehingga penggunaannya harus digabung & disambung, contohnya ya pascabayar, pascapanen, pascasarjana, dll.

Pascanonton iklan selular itu, bagi yang awam dengan masalah tata bahasa, tentu akan menganggap bahwa kata ‘pasca’ memang dibaca ‘paska’ atau lebih parah lagi bahwa ‘paska’ akan dianggap sebagai kata dan tulisan yang benar dan tidak ada ‘pasca’! Ini memang agak memprihatinkan, atau jangan-jangan yang bikin iklan itu memang bukan orang Indonesia? [B\W]

Sumber: Bahasa, please!

9/3/13

Zakat Maal & Zakat Mall

“Ibu-ibu, coba hitung lebih banyak mana zakat maal atau zakat mall-nya?” seru Ustad Wijayanto dalam sebuah acara Ramadan di sebuah stasiun TV. “Ini sekedar sindiran bahwa manusia selama ini lebih banyak membawa uang ketika pergi ke mall, ketimbang digunakan untuk membayar zakat maal-nya,” lanjut ustad lulusan S2 dari Pakistan tersebut.

Kata-kata zakat maal dan “zakat” mall itu sungguh terus menempel di hati. Sindiran yang sungguh relevan dengan kehidupan masyarakat perkotaan sekarang ini. Apalagi di bulan suci yang penuh berkah, zakat maal menjadi penting setelah umat Islam memenuhi kewajibannya berzakat fitrah.

Dikutip dari Portalinfaq: kita mengenal zakat sebagai salah satu dari lima rukun Islam yang di dalam Al Qur’an sering kali dikaitkan dengan shalat. Zakat berasal dari bentukan kata zaka yang berarti ‘suci’, ‘baik’, ‘berkah’, ‘tumbuh’, dan ‘berkembang’. Menurut terminologi syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Kaitan antara makna secara bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (At-Taubah:103 dan Ar-Rum:39).

Pada dasarnya ada dua macam zakat, yaitu Zakat Maal atau zakat atas harta kekayaan; dan Zakat Fitrah yaitu zakat untuk membersihkan diri yang dibayarkan pada bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri.

Sedangkan menurut PKPU: zakat maal atau zakat harta, adalah zakat yang wajib dibayarkan setiap muslimin yang memiliki harta yang sudah sampai nishab-nya selama satu tahun kepemilikan. Zakat maal terdiri dari berbagai macam, ada zakat emas- perak, zakat perniagaan, zakat pertanian, zakat binatang ternak, zakat madu dan hasil hewan. Setiap jenis zakat ini memiliki nishab sendiri-sendiri, seperti zakat emas nishabnya 85 gram, dan besar zakatnya adalah 2,5%, dan seterusnya.

Sudah jelas pentingnya kaum muslim untuk mengeluarkan zakat maal-nya, selain untuk kebersihan diri, juga untuk menjaga silaturahim, dan menjaga situasi keadilan sosial agar tidak ada jurang pemisah yang lebar antar berbagai status sosial di dalam masyarakat.

Bagaimana dengan “zakat” mall? Hari-hari sebelum memasuki Ramadhan, apalagi nanti sebelum Lebaran, biasanya mall-mall di mana saja terutama di Jakarta akan semakin meningkat jumlah pengunjungnya, dan akan makin banyak orang-orang yang mulai "menzakati" mall dan pusat-pusat perbelanjaan.

Memang tak ada salahnya jika kita menuju mall guna mencari keperluan menyambut hari raya, namun seperti apa yang dikatakan ustad Wijayanto di atas, hendaknya kita juga mulai membawa uang lebih banyak untuk zakat maal ketimbang “zakat“ mall, karena selain bermanfaat untuk meningkatkan kualitas spiritualitas diri, juga bisa bermanfaat untuk banyak orang. [b\w]

Sumber: bloggerbekasi.com

8/30/13

Demokrasi Tirani sang Kapitalis

3 April 2006 (benwal.multiply.com)


Jika bicara demokrasi, orang seluruh dunia pasti menunjuk Amerika Serikat sebagai negara yang selalu menyuarakan faham ini, dan selalu bertindak atas nama demokrasi. Tapi apa yang terjadi ketika penerapan demokrasi itu menghasilkan tokoh atau pihak yang tak sejalan dengan aksi kapitalismenya?


Demokrasi yang tak dikehendaki

Kita jalan-jalan sebentar ke Palestina. Pemilihan umum paling demokratis dalam sejarah Palestina ini dimenangkan oleh partai HAMAS. Sebuah partai berbasis perjuangan rakyat yang dulu memang agak radikal, dan hal itulah yang dijadikan alasan negara penjaga demokrasi dunia Amerika Serikat, untuk tidak menyetujui kemenangannya. Bahkan berusaha menggagalkan kemenangan tersebut dengan berbagai ancaman penangguhan bantuan. Padahal pemilu tersebut diawasi berbagai lembaga internasional, termasuk mantan presiden AS Jimmy Carter, yang ikut mengawasi langsung jalannya pemilihan, dan menyatakan bahwa pesta demokrasi tersebut sungguh pemilu yang bersih.

Tengok agak ke timur sedikit. Salah satu negara penghasil minyak terbesar dunia, Iran. Negara itu juga baru saja melaksanakan pemilihan presiden dengan sangat demokratis. Namun apa tanggapan si Paman Sam? Mahmoud Ahmadinejad, presiden berumur 49 tahun yang hidupnya sederhana itu, berusaha digulingkan dengan berbagai fitnah serta cercaan dengan harapan dapat menggoyangkan kedudukannya. Hingga AS akhirnya melakukan upaya terakhir dengan meneriakkan isu nuklir seperti yang dilakukannya terhadap Irak.

Tak hanya di Timur Tengah. Pemilihan umum yang demokratis juga terjadi Bolivia, sebuah negara miskin di Amerika Selatan tempat terbunuhnya tokoh revolusi Che Guevara oleh CIA pada tahun 1967. Rakyatnya baru saja memiliki presiden pertama yang berasal dari suku asli Indian. Evo Morales yang dipilih oleh sekitar 54% rakyat Bolivia, dan merelakan setengah gajinya sebagai presiden untuk dialokasikan guna kepentingan rakyat itu, menjadi sasaran kecaman Amerika Serikat karena menolak bekerjasama memenuhi keinginan sang negara adidaya.


Demokrasi ala Amerika?

Katanya demokrasi, tapi kenapa tidak setuju ketika ada pihak yang memenangkan pemilihan dengan demokratis? Itulah Amerika Serikat, sebuah negara yang mengaku penganut demokrasi sejati, padahal tak lebih dari sebuah pemerintahan tirani yang selalu memaksakan kepentingannya ke seluruh dunia. Hebatnya lagi, pemerintah AS juga berhasil mengajak negara-negara barat yang lain untuk bersama-sama mengupayakan keberhasilan dari tindakannya.

Jika demokrasi dipaksakan untuk diterapkan di sebuah negara, kalau perlu dengan melakukan agresi seperti yang terjadi pada Irak dan Afghanistan, apa itu namanya tindakan yang demokratis? Masih pantaskah Amerika Serikat dijadikan kiblat demokrasi dunia? Jika masih ada istilah demokrasi ala Amerika, mungkin harus diubah menjadi demokrasi tirani ala Amerika. (b\w)

8/21/13

Poligami dari sudut pandang istri kedua

“Selama ini masalah poligami selalu dilihat dari ‘kacamata’ istri pertama, coba lihat masalah ini dari ‘kacamata’ istri kedua, belum tentu istri kedua tak lebih baik dari istri pertama,” itulah yang dikatakan Poetri Soehendro, seorang penyiar i-radio ketika dalam siaranya bersama Rafiq tadi pagi (12/12/2006) yang untuk kesekian kalinya membahas masalah poligami ini. “Sekarang ini kaum perempuan selalu menghujat para pelaku poligami, padahal bukan tak mungkin suatu saat dia sendiri jadi istri kedua,” sambungnya lagi.

Luar biasa landasan berpikir sang penyiar wanita kawakan tersebut. Pendapatnya tentang poligami begitu terbuka, bahkan menyentuh bahasan yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Sangat benar apa yang dikatakannya, bahwa sekarang ini banyak sekali para wanita yang menghujat poligami selalu dari sudut pandang istri pertama. Bagaimana rasanya hati yang teriris-iris ketika tahu diduakan, bagaimana malunya jika orang lain tahu suaminya ternyata punya yang lain. Namun, apakah terpikir bagaimana terisrisnya hati sang pelaku, dalam hal ini sang istri kedua, ketika tahu dirinya dijadikan ajang hujatan sesama kaumnya?

“Ah, gua ga bakal pernah mau punya suami yang udah punya istri!” teriak seorang teman perempuan. Oh ya? Ati-ati lho kalo bicara, never say never kata orang Jawa bilang.

Sayang penulis tidak punya rujukan pengalaman dari sisi istri kedua. Tulisan ini pun tidak juga bermaksud melakukan pembahasan terhadap masalah poligami, karena jika ingin lebih jelas tentang itu, silakan main-main saja ke sini www.polygamy.com. Tapi ulasan di sini hanya ingin sejenak keluar dari batas-batas emosi yang ada.

Ngomongin emosi, ada sebuah statement bijak dari seorang ustadzah terkenal dalam sebuah wawancara di salah satu TV swasta, “Semakin kita menghujat dan mencaci maki A’a Gym, maka dosa-dosa yang ditanggung dia justru akan beralih kepada yang menghujat. Jadi sebaiknya kita doakan saja agar keluarganya bisa tetap berbahagia dengan kejadian ini, lebih berpahala daripada marah-marah yang akan menambah dosa.”

Penting juga ya jika dalam masalah apa pun, hendaknya kita juga melihat emosi dari sisi yang lain. Seperti yang mbak Poetri bilang tadi pagi, “Kita harus tahu bahwa ada orang lain yang keadaannya tidak seperti yang kita alami, tidak semua orang punya kondisi hidup yang sama.” Mungkin sudah saatnya kita melihat suatu masalah tak hanya selalu dari satu sisi, agar kita bisa lebih menghargai hidup yang singkat ini. [b\w]

*tulisan ini pernah diposting pada 12 Desember 2006 di benwal.multiply.com yang sudah musnah...

8/3/13

Makna Lain Speedometer, Penting Bagi Kehidupan Pengemudi Kendaraan Bermotor

Siapa pun yang pernah mengemudikan kendaran bermotor, pasti tahu apa itu speedometer. Sebuah alat pengukur kecepatan kendaraan yang berjalan di darat (entah apakah alat ukur kecepatan di speedboat juga bernama speedometer atau bukan) yang berfungsi agar pengemudi, atau bahkan juga penumpang, mengetahui kecepatan kendaraan yang dikemudikan atau ditumpanginya.

Bentuk speedometer sempat berevolusi dari yang manual menggunakan jarum seperti jam, menjadi model digital yang menggunakan angka besar di bagian dashboard. Belakangan bentuk speedometer akhirnya kembali lagi menggunakan jarum, hanya saja jarum dan angka-angka di dalamnya tidak lagi menggunakan bahan yang dapat bersinar ketika gelap (fluorescence), tapi sudah langsung bercahaya baik siang maupun malam.

Nah, lalu apa menariknya alat bernama speedometer ini? Ternyata jika kita melihat kehidupan manusia di dunia fana ini seperti beroperasinya sebuah speedometer. Hidup ini seperti speedometer yang mulai dari nol, hingga bisa mencapai kecepatan maksimal, namun pasti akan kembali lagi ke angka nol.

Speedometer beroperasi dari nol, perlahan-lahan ia akan naik ke angka berikutnya, 20, 40, 60, 80… seperti halnya kehidupan kita yang pasti pernah mengalami kesulitan, analoginya adalah jika kendaraan melewati jalur yang macet, angka itu akan turun, lalu naik lagi, hingga kendaraan itu menemukan jalan yang sepi atau bebas hambatan/tol. Dalam kehidupan nyata jika kita menemukan jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan atau kesuksesan, maka jarum speedometer akan mencapai angka di atas seratus, hingga akhirnya perlahan turun, kembali ke angka nol dengan bertahap.

Begitu pula dengan hidup kita yang fluktuatif, jika umur panjang maka suatu saat pasti akan mengalami nasib yang baik, sebelum bertambah uzur dan mengalami penurunan hingga akhirnya kembali ke angka nol. Tapi perlu diingat bahwa kembalinya jarum ke angka nol bisa secara tiba-tiba. Maaf, jika kendaraan itu tiba-tiba mengalami kecelakaan dalam kecepatan tinggi, maka itu artinya speedometer akan langsung tidak bisa beroperasi, jarumnya langsung melesat ke angka nol tanpa tahapan hitungan mundur.

Manusia hidup memang harus selalu siap untuk kembali ke angka nol. Siap-siap jika ada kecelakaan, atau bahkan juga siap-siap jika kehabisan “bensin” dan kita tidak menemukan tempat di mana bisa membelinya. Tak akan ada speedometer yang jarumnya terus menerus ada di angka 100 km/jam tanpa pernah turun. Jarum kehidupan kita pasti akan kembali ke angka nol, hanya caranya yang bermacam-macam. Jika kita berdoa mohon umur panjang, jangan lupa juga untuk berdoa agar kita kembali ke angka nol dengan baik.

Sumber: Kompasiana

7/14/13

Warga Bekasi yang Sering Dianggap "Orang Jakarta"

Saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu, tim dari pasangan Joko Widodo dan Basuki “Ahok” Purnama, yang sekarang sudah jadi Gubernur & Wakil Gubernur, sempat memasang iklan kampanye mereka di jalan ke arah gerbang keluar tol Bekasi Barat dari arah Jakarta. Pengendara yang hendak keluar tol Bekasi Barat yang biasanya disuguhi iklan rokok mild terkenal, saat itu digantikan dengan iklan kampanye baju kotak-kotak tersebut.

Entah apa alasan mereka memasang iklan kampanye di situ, di tempat yang memang strategis tapi sudah jelas-jelas bukan merupakan wilayah DKI Jakarta. Siapa yang hendak mereka jadikan sasaran? Apakah warga DKI yang sering berkunjung ke Kota Bekasi, atau para supir truk Dinas Kebersihan DKI yang akan membuang sampah ke arah Bantargebang, atau berminat jadi Cawalkot Bekasi jika gagal jadi gubernur di DKI?

Semoga pemasangan kampanye tersebut bukan karena mengira wilayah Kota Bekasi ini masih termasuk wilayah Jakarta. Fenomena ini bukan sekadar wacana, banyak yang mengira kota Bekasi itu sama dengan Jakarta. Beberapa kerabat yang tinggal di Jogja dan Solo waktu itu sempat bertanya kepada penulis, memilih siapa dalam Pilgub DKI Jakarta. Meskipun mereka semua sudah pernah bertandang ke rumah penulis di kota Bekasi, tetap saja mereka mengira kota ini masuk wilayah DKI.

Lain lagi dengan kerabat atau pun teman-teman dari Bogor. Meskipun mereka sudah tahu bahwa Bekasi itu termasuk wilayah Jawa Barat, namun kerap kali dalam menyebut arah ke Bekasi mereka selalu bilang “ke Jakarta”. Apalagi ketika belum ada jalan lingkar luar sambungan dari Cikunir ke Kampung Rambutan, sehingga semua perjalanan lewat tol dari Bogor arah Bekasi harus keluar dulu ke Jakarta, tepatnya di Cawang (UKI), sebelum masuk lagi ke tol arah Cikampek.

Bukan salah mereka jika mengira seperti itu. Sejak dahulu memang kota Bekasi telah menjadi daerah penyangga ibukota yang paling mepet dengan Jakarta. Juga merupakan salah satu daerah tempat tinggal asli masyarakat Betawi, ditambah sebagian besar warga Bekasi mencari segenggam berlian di Jakarta. Perilaku serta kebiasaan selama beraktivitas di ibukota mau tak mau ikut terbawa ketika kembali pulang ke Bekasi. Jadilah kota Bekasi seperti fotokopiannya Jakarta. Jadi tak heran jika status “kewarganegaraan” warga Bekasi terkena bias metropolitan Jakarta.

Namun kini warga Bekasi tampak semakin punya rasa percaya diri dengan keberadaan status domisilinya. Keberadaan komunitas lokal seperti contohnya Blogger Bekasi ini semakin membangkitkan semangat pengakuan akan status ke-Bekasi-an kita semua. Melihat perkembangan kota Bekasi yang semakin metropolis dan mandiri, bukan tak mungkin akan semakin banyak warga Bekasi yang tidak tergantung lagi dengan DKI, sehingga makin mantab dan bangga untuk mengaku sebagai warga Bekasi. Semoga. [b\w]

Sumber: bloggerbekasi.com

7/7/13

Aset Bangsa yang "Dipakai" Jiran!


Senang dan bangga sekaligus sedih ketika membaca tulisan di harian Kompas, Sabtu 29 April 2006, halaman 16. Lagi-lagi seorang anak bangsa berprestasi di ajang kompetisi ilmiah dunia, setelah sebelumnya kita menerima berita tentang kemenangan siswa SMA dan bahkan juga siswa SMP Indonesia yang berhasil meraih dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu dalam Olimpiade Fisika Asia ke-7 di Almaty, Kazakhtan, 28 April 2006, hingga berhasil menempatkan posisi Indonesia di peringkat kedua setelah China.

Irwandi Jaswir (36), seorang peneliti muda kelahiran Medan yang besar di Bukittinggi ini berhasil mendapatkan award tertinggi kelas dunia untuk temuan inovatifnya yang berjudul Rapid Method for Detection of Non-Halal Substances in Food, dan juga mendapat medali perak untuk temuannya yang lain yaitu Novel Rapid Analytical Techniques for Fats and Oils Industry.

Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1993 ini berhasil menemukan metode bagaimana dengan cepat dapat mengetahui kandungan lemak hewani pada berbagai makanan dengan aman (karena tanpa bahan kimia), dan dengan biaya murah. Temuan itulah yang membawanya memenangkan anugerah tertinggi pada lomba rekacipta dan inovasi tingkat dunia The 34th International Exhibition of Inventions, New Techniques and Products of Geneva, di Jenewa-Swiss, pada 5-9 April 2006 lalu.

Namun sayangnya, bapak dua anak yang beristrikan seorang dokter gigi ini membawa nama negeri jiran Malaysia dalam lomba ilmiah dunia tersebut. Karena Irwandi ternyata adalah seorang dosen di International Islamic University Malaysia, sehingga Kementrian Sains Teknologi dan Inovasi Malaysia dengan mudahnya mengucurkan dana penelitian yang memang di negara jiran itu tidak sulit didapat dari pemerintahnya yang memang menaruh perhatian besar terhadap hal-hal seperti itu.

Masalah kucuran dana untuk penelitian inilah yang tampaknya membuat Irwandi, yang juga mendapatkan PhD-nya berkat twinning programme setelah ia menyelesaikan S2 di Universitas Pertanian Malaysia, tetap bertahan menjadi dosen di sana. Bahkan ia pun kini sudah diincar oleh Japan Society for Promotion of Science untuk melakukan penelitian dengan dana penelitian tak terbatas!

Bagaimana jika dia waktu itu buru-buru kembali ke Indonesia dan menunggu pencairan dana penelitian yang tak kunjung turun, karena melewati sistem birokrasi yang ribet dan korup? Mungkin Irwandi hanya bisa jadi seorang dosen yang bakalan mati penasaran, karena otak encernya tidak dihargai oleh negaranya sendiri untuk membuat penelitian yang menghasilkan penemuan brilian yang dapat berguna bagi orang banyak.

Sudah selayaknya warga negara seperti Irwandi dan adik-adik pemenang olimpiade ilmiah itulah yang pantas disebut aset bangsa. Bukannya orang yang menebar eksploitasi tubuh wanita dengan berbagai goyang ngebor, ngecor, atau apa pun, yang saat ini justru dianggap sebagai aset bangsa. Tampaknya bukan hanya pemerintah yang tak peduli akan potensi kaum Irwandi, tapi juga masyarakat kita yang lebih senang mendukung pertikaian politik, dan juga hiburan seronok yang jelas-jelas makin merendahkan martabat tak hanya wanita, tapi juga martabat bangsa yang sedang terpuruk ini. Apa kita akan terus membiarkan Irwandi-Irwandi lain yang kepintarannya justru dimanfaatkan negeri jiran? (b\w)

*tulisan ini diposting pd tanggal 2 Mei 2006 di benwal.multiply.com

6/2/13

Taman Kota yang Menyejukkan Hati Warga


Bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2013, Dirjen Sumber Daya Air (SDA) Kementrian PU mengadakan acara Aksi Peduli Air bertema “Membangun Generasi Peduli Air” yang dihadiri oleh Dirjen SDA Mohammad Hasan, pelajar SMP di Jakarta, serta beberapa komunitas peduli air dan juga komunitas blogger. Acara digelar di sebuah taman kota yang asri dengan pohon-pohon besar dan danau buatan unik di tengahnya.

Taman tersebut dinamakan Taman Cattleya, yang diambil dari nama salah satu jenis bunga Anggrek. Taman yang pembangunannya diprakarsai oleh Gerakan Perempuan Peduli Lingkungan ini diresmikan pada 1 Desember 2007. Taman Cattleya terletak persis di pojok perempatan sibuk kawasan Simpang Susun Tomang Jakarta Barat. Seremonial Aksi Peduli Air pada hari Sabtu itu diadakan di selasar taman atau halaman parkir yang cukup lapang.

Taman yang biasa juga disebut Taman Tomang ini, tampak tak terlalu banyak diketahui warga. Hal ini terlihat dari jumlah orang yang berlalu-lalang di dalam taman, meski hari itu adalah akhir pekan yang biasanya digunakan untuk berjalan-jalan. Padahal kesejukan udara sangat terasa ketika kita berjalan di dalamnya, sangat kontras dengan kondisi lalu lintas di perempatan Tomang.

Berbeda dengan kondisi taman lain di Jakarta seperti misalnya Taman Menteng, Taman Situ Lembang, Taman Suropati di Jakarta Pusat, dan Taman Ayodya di Jakarta Selatan, Taman Cattleya ini jauh lebih luas. Dari lokasinya pun sangat berbeda, karena taman ini benar-benar terletak di tengah-tengah pusat kesibukan metropolitan, di antara ruas jalan raya dan jalan tol yang selalu dilalui bis dan truk-truk besar.

Sudah selayaknya memang setiap kota di Indonesia memiliki taman indah yang juga berguna untuk jadi area resapan air. Taman yang bisa dikunjungi warga tanpa dipungut biaya. Taman yang dapat memberi keteduhan batin dan secara tidak langsung bisa meredam emosi warga kota. Bahkan bukan tak mungkin dengan banyaknya taman yang sejuk, dapat menyejukkan hati warganya, hingga bisa meredam konflik antar mereka. [b\w]



5/12/13

Jika Pengelola Kompleks Jadi Pengelola Kota

Beton-beton “pasak bumi” berukuran raksasa tersebut dengan pelan tapi pasti dihujamkan ke dalam tanah di sepanjang sungai yang dikenal oleh warga dengan nama Kali Bekasi. Setelah beton-beton tersebut berjajar rapi masuk belasan meter di bawah tanah, bagian atasnya diurug dengan tanah dan kembali ditanami rumput, sehingga tidak terlihat jika sebenarnya terdapat barisan beton yang angkuh yang bertugas menahan derasnya aliran air Kali Bekasi itu. Bahkan sekarang ini di sekitar beton tersebut dilepas kijang tutul jinak yang setiap sore menjadi hiburan gratis penduduk sekitar.

Kejadian di atas itu berlangsung sudah sekitar dua tahun silam. Meski “penanaman” beton tersebut menciptakan suara berisik sepanjang hari, namun ketika semua sudah tertanam menimbulkan ketenangan hati bagi warga yang tinggal di sepanjang aliran kali yang sudah dibeton itu tadi. Mengingat banjir yang lumayan merepotkan pernah terjadi di tahun 2004 akibat jebolnya tanggul penahan aliran kali tersebut.

Rupanya pada awal tahun 2013 ini banjir kembali menggenangi perumahan tersebut meskipun bukan disebabkan oleh jebolnya tanggul yang sudah diperkuat itu tadi, tapi dari tanggul di kompleks lain yang sepertinya memang belum dibuat dari beton “pasak bumi” seperti itu. Hari Jumat tanggal 18 Januari 2013 lalu adalah puncak dari meluapnya air Kali Bekasi yang kali ini memakan waktu yang cukup lama untuk kembali surut, lebih lama dari kejadian tahun 2004.

Limpahan air Kali Bekasi yang sempat menggenangi sebagian jalan utama di kompleks tersebut ternyata membuat beberapa bagian jalan yang dibangun dari conblock tersebut mengalami kerusakan. Meski kerusakan tidak parah, namun pihak pengembang kompleks tersebut sepertinya tidak ingin mengecewakan para pengendara yang sering melewati jalan di situ. Sehari setelah peristiwa tersebut, sudah terlihat beberapa pekerja mulai membongkar susunan conblock untuk kembali dipasang dengan rapi sehingga tidak turun naik.

Meskipun jalan tersebut sudah dihibahkan dari pengembang kepada Pemkot Bekasi, tapi pihak pengembang tidak tinggal diam begitu saja menunggu jalan jadi semakin rusak. Memang tindakan seperti inilah yang diperlukan warga. Tindakan cepat pengelola kompleks itu memang sudah dilakukannya sejak dahulu terutama yang berhubungan dengan kepentingan umum, dan hal ini patut diberi apresiasi.

Memang tidak bisa membandingkan pengelolaan sebuah kota dengan pengelolaan sebuah kompleks perumahan. Tapi mungkin jika pengelolaan kota kita serahkan kepada para pengelola kompleks perumahan yang tanggap seperti contoh di atas, bisa jadi warga kota akan merasa lebih nyaman ketimbang dikelola oleh para politisi.

Sumber: bloggerbekasi.com
Tgl. posting: Senin, 21 Januari 2013

5/11/13

Pantaskah Anak-anak Diajak Mendukung Raffi Ahmad?

Entah apa yang ada di benak penyelenggara acara atau pembawa acara Idola Cilik di salah satu stasiun tv swasta pada Sabtu siang lalu (2/2/2013). Di tengah acara kontes menyanyi untuk anak-anak kecil itu, dengan pedenya si Okky Lukman, host acara tersebut yang berdiri di panggung menghadap juri dan penonton yang sebagian anak-anak kecil, mengajak para hadirin untuk mendoakan Raffi Ahmad yang sedang terkena musibah. “Semoga kak Raffi diberi yang terbaik. I love you kak Raffi!” begitu teriak Okky sembari memasang tampang serius.

Raffi Ahmad memang sempat menjadi salah satu juri di acara tersebut. Okky Lukman pun mungkin juga bersahabat dekat dengan dia. Tapi ketika Raffi sudah terbukti terlibat masalah narkoba, seharusnya tidaklah perlu penonton apalagi anak-anak kecil di acara tersebut, untuk diajak memberi dukungan kepada seorang yang terindikasi dengan narkoba. Bagaimana jika anak-anak itu ketika besar nanti berpikir bahwa bergaul dengan narkoba bukanlah sebuah kesalahan. “Buktinya si artis “x” itu masih mendapat dukungan dari banyak orang…” begitu pikir mereka nanti.

Keesokan harinya masih di stasiun tv yang sama. Di hari Minggu pagi, di tengah-tengah acara Dahsyat, di mana Raffi Ahmad juga sebagai salah satu pembawa acaranya, kembali mereka mengajak penonton untuk memberi dukungan kepada Raffi Ahmad. Ditayangkan gambar-gambar ketika pemuda 26 tahun itu masih aktif sebagai host Dahsyat. Di sini malah Raffi diperlakukan seolah-olah sudah tiada. Kasihan dia dibuat seperti “in-memoriam”. Para produser acara tv yang memakai Raffi Ahmad sepertinya tidak mau menanggung kesalahan karena pilihannya itu. Mereka sudah sampai tahap berlebihan, lebay, dalam menyikapi kasus artisnya.

Memang dukungan secara pribadi diperlukan bagi si artis yang tersandung masalah hukum, agar tetap tegar menghadapi permasalahannya, apalagi jika dukungan tersebut diberikan oleh sesama artis, itu sah-sah saja. Tapi bukan berarti dukungan tersebut juga “diwajibkan” bagi para penggemar atau penonton acara yang tadinya digawangi oleh si artis. Seharusnya mereka juga melihat penontonnya yang kebanyakan adalah anak-anak dan remaja, tidak sepatutnya meracuni mereka dengan dukungan yang salah alamat itu. Kalaupun Raffi Ahmad dijebak, janganlah “menjebak” anak-anak hingga menganggap narkoba itu hal yang biasa. Kasihan generasi muda kita, di benak mereka mana yang benar dan salah menjadi bias.

Di republik ini, bukan cuma hukuman negara saja yang kurang keras terhadap orang-orang yang terlibat narkoba, tapi hukuman atau sanksi sosial yang diterima juga ternyata kurang membuat jera pelaku yang lain. Apalagi ada media masa yang ikut mendukungnya, bukannya memberi sedikit ganjaran agar dapat menjadi pelajaran bagi para pemirsanya.

sumber: kompasiana
tgl posting:  03 February 2013 | 23:35

1/27/13

Superhero & kebangsaan

(tulisan ini diposting pada tanggal 28 Juni 2006)

Sekarang ini lagi gencar-gencarnya promosi film Superman Returns. Sebelumnya ada Batman Returns, terus ada Spiderman, Zorro, Hulk, de-el-el lah... Hebatnya, semua film superhero itu menangguk untung besar dari hasil pemutaran maupun penjualan merchandise-nya.

Luar biasa mereka (baca: USA), ”brand” lama bisa diangkat lagi seolah-olah jadi sesuatu yang baru dan menjual. Apa nggak takut ya kalau ternyata film-film itu nggak ada yang nonton karena hanya mengangkat nama lama? Mungkin pasar yang demikian besar (sedunia) menyebabkan mereka sudah memperhitungkan hal itu. Jika di AS nggak laku, kan tinggal digeser ke negara lain, atau ke benua lain.

Kalo ngomongin superhero, Indonesia juga punya tak kalah banyak. Paling sering diinget orang mungkin adalah Gatotkaca. Selebihnya ada Wiro Sableng, si Pitung, si Buta dari Gua Hantu, Gundala, Godam bahkan mungkin ada superhero yang statusnya pahlawan bangsa (emangnya ada?).

Jika industri film kita yang katanya lagi booming mau membuat seperti itu, pasti seru. Mungkin kita akan terbiasa dengan judul-judul: Kembalinya Gundala, Godam Kembali Beraksi,atau bahkan Matinya Gatotkaca (karena memang di dalam ceritanya Gatotkaca tewas saat perang Baratayudha).

Jika penjualan merhandise-nya berhasil, anak-anak kita diharapkan tidak lagi mengidolakan superhero barat, mereka jadi bangga memakai lambang-lambang heroik asli Indonesia, sehingga otomatis jiwa kebanggaan bangsa sedikit terangkat.

Ngomongin tentang jiwa kebangsaan, mungkin dengan dibuatnya film-film heroik semacam itu, bahkan yang norak sekelas Rambo sekalipun, Amerika mempunyai misi terselubung untuk tetap mempertahankan rasa kebangsaan rakyatnya agar tetap bangga dengan negaranya. Di saat rasa kebangsaan yang sedang terpuruk seperti sekarang, mungkin Indonesia perlu meniru cara seperti ini juga ya?  [b\w]

1/8/13

BLUSUKAN sambil NGANGKANG

-->
Saat ini hampir semua orang tahu, terutama yang aktif di media sosial, apa itu yang dimaksud dengan kata ‘blusukan’, terutama sejak mantan gubernur DKI Sutiyoso berbicara di media mengingatkan gubernur DKI Joko Widodo agar sudah saatnya action dan mulai mengurangi aktivitas blusukan-nya. Kini memang ‘blusukan’ sudah menjelma menjadi istilah “keren” untuk menguraikan sebuah aktivitas pejabat yang mengunjungi masyarakat kelas bawah tanpa batasan formalitas. Aktivitasnya pun sepertinya juga ikut-ikutan ngetren, sampai-sampai banyak yang saling klaim siapa yang lebih dulu melakukan kebiasaan blusukan.

Kita tidak akan menemukan kata ‘blusukan’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karena memang merupakan bahasa Jawa. Apakah artinya memang sama seperti yang dilakukan Jokowi? Kata dasarnya adalah blusuk atau blesek yang artinya ‘masuk’. Jadi ‘blusukan’ bisa berarti masuk ke sana, masuk ke sini, atau ‘keluar-masuk’ lah. Sehingga kesimpulannya ‘blusukan’ itu merupakan aktivitas jalan-jalan keluar-masuk tempat-tempat yang tak banyak dikunjungi orang. Misalnya orang yang berpetualang keluar-masuk hutan semak belukar, atau pedagang keliling yang keluar-masuk pasar-pasar kecil, atau pendekar yang berkelana ke sana ke mari mencari ilmu ke tempat-tempat di mana para guru sakti bertapa.

Jika sekarang itu blusukan tidak lagi punya nilai sakral ya memang zamannya sudah berubah. Sama seperti ‘sidak’ (inspeksi mendadak) yang sudah tidak mendadak-mendadak banget sih, karena datangnya rame-rame dengan membawa awak media pula, apanya yang mendadak? Juga yang namanya ‘turba’ (turun ke bawah) dengan maksud ikut merasakan kehidupan di “bawah” tapi kenyataannya sampai di “bawah” si pejabat tetap bergaya priayi ketika berdialog dengan warga. Dari situ lah sebuah kata atau frasa menjadi berubah makna, disesuaikan dengan zamannya, kalo zamannya edan ya maknanya juga ikut gelo, hehe...

Nasib yang hampir sama dialami kata ‘ngangkang’ yang akhir-akhir ini juga jadi bahan gunjingan banyak pihak. Lagi-lagi kita tidak akan menemukannya di KBBI. Meskipun konon sama-sama berasal dari bahasa Jawa, tapi kata ‘ngangkang’ telah lebih dahulu eksis di luar daerah asalnya. Di kalangan anak-anak muda ibukota sudah sejak lama dikenal istilah ‘ngengkang’ yang merujuk kepada kaki yang terbuka lebar seperti orang sedang naik kuda. Begitu pula dengan ngangkang. Dalam boso jowo, kata ini berkembang jadi ‘mekangkang’, yaitu gaya kedua kaki berdiri yang terbuka seperti orang-orang yang sedang melakukan olah raga sumo.

Banyak kata-kata bahasa Jawa yang memiliki arti sangat spesifik, termasuk blusukan dan ngangkang ini. Beberapa daerah lain juga kaya akan kata bermakna spesifik yang dapat diambil untuk memperkaya bahasa Indonesia. Contohnya istilah ‘ngabuburit’ yang berasal dari lema Sunda, yang akhirnya bisa masuk ke dalam KBBI (lihat artikelnya di sini). Juga ada kata unduh (download) dan unggah (upload) yang diambil dari bahasa Jawa. Ide yang bagus juga sih kalau kita mau sedikit blusukan untuk mencari kata-kata dari daerah lain guna memperkaya bahasa kita, terutama untuk mengganti beberapa istilah asing. Tentunya blusukan tanpa bawa-bawa media lah, juga jangan blusukan sambil ngangkang, bisa bahaya, hehe... [b\w]

Sumber: bahasa, please!

1/6/13

Candi Singosari & peradaban bangsa

Saya baru tahu ada candi di Jawa yang bernama Candi Singosari ketika pertama kali berkunjung ke Malang Jawa Timur pada November 2012 lalu. Selama ini hanya nama Singosari saja yang terkenal sebagai sebuah kerajaan yang dibangun penuh intrik oleh seorang Ken Arok yang merebut Ken Dedes, istri dari Tunggul Ametung pemimpin wilayah Tumapel yang awalnya masih merupakan bagian dari kerajaan Kediri, sebelum akhirnya memisahkan diri dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singosari.


Lokasi tempat keberadaan Candi Singosari ditemukan di jalan Kertanegara Desa Candirenggo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang Jawa Timur itu diperkirakan dulunya merupakan letak kerajaan Singosari, karena di sekitar wilayah itu tak hanya ditemukan candi, tapi juga berbagai benda budaya seperti misalnya patung batu, dan lain-lain. Untuk mencapai ke sana, dari pusat kota Malang kira-kira 12 km ke arah utara yang menuju Surabaya. Sementara jika dari Surabaya sekitar 80 km ke arah selatan.


Memasuki lokasi candi tidak ada loket untuk membeli karcis tanda masuk, hanya saja para penjaga di tempat tersebut biasanya akan mengarahkan kita untuk mengisi buku tamu sebelum kita mendekati bangunan candi. Setelah itu mereka akan memberikan buku kecil yang sangat sederhana berupa keterangan dan tulisan tentang sejarah Candi Singosari. Dengan sopan para penjaga akan meminta biaya pengganti cetak yang besarnya tidak ditentukan alias seikhlas kita, karena dari dana tersebut nantinya akan dialokasikan juga untuk biaya operasional mereka merawat kawasan itu.


Secara keseluruhan Candi Singosari ini masih dalam keadaan terawat baik, begitu pula lingkungan di sekitar candi yang cukup bersih, nampak hijau dan asri. Hanya sayang terlihat beberapa arca patung atau pun batu-batu yang diletakkan berjajar di pinggir pagar lokasi tanpa ada bangunan yang menutupinya. Semoga saja arca dan batu-batu itu tidak dijamah tangan-tangan jahil yang berniat mengambil atau merusaknya. Menurut catatan sejarah, di kompleks candi ini awalnya ada 7 buah candi yang kesemuanya kini sudah runtuh meninggalkan puing-puing dan arca yang terpisah-pisah tersebut, dan hanya tersisa satu candi yang kini berdiri.


Bagi saya pribadi, dengan mengunjungi candi atau pun bangunan peninggalan bersejarah yang lain, akan semakin menumbuhkan rasa bangga dan cinta tanah air dan bangsa ini. Semua itu membuktikan bahwa peradaban bangsa Indonesia telah berkembang sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Jangan sampai di masa sekarang, bangsa ini malahan tidak lagi memiliki peradaban dan budaya yang dapat dibanggakan generasi 100 tahun ke depan.

Sumber: http://bloggerbekasi.com/2013/01/06/candi-singosari.html

BACA JUGA

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...